Sabtu, 25 April 2009

Artikel Bebas

Artikel bebas ini adalah berupa ide-ide atau informasi atau kritikan sosial, dll yang sudah diterbitkan di buletin PGRI Kuningan.

DILEMA DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Oleh : HARTINI, S.Pd.

Tanggal 2 Mei merupakan peringatan hari Pendidikan Nasional, yang bertepatan dengan hari lahirnya Pahlawan Pendidikan Nasional yang bernama Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.

Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia bisa direbut kembali melalui jalur pendidikan, karena perjuangan kemerdekaan tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan politik dan pisik. (Drs. D. Kusbada : 1994)

Selanjutnya Ki Hajar Dewantara memandang pendidikan sebagai daya upaya untuk mamajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelect) dan jasmani anak didik dalam rangka mencapai kesempurnaan hidup dan penghidupan anak yang selaras dengan alamnya dan masyarakatnya. (Drs. D. Kusbada : 1994)

Konsep ini diwujudkan oleh beliau dalam perjuangannya di Perguruan Taman Siswa dengan semboyan Tut Wuri Handayani, Hing Madya Mangun Karso dan Hing Ngarso Sung Tulodo. Maksudnya, seorang pamong (guru) dalam hubungannya dengan anak didik dalam Proses Belajar Mengajar mempunyai posisi di belakang, di tengah dan di depan. Di belakang, seorang guru dapat berperan dalam membimbing, merangsang, dan mempengaruhi anak didik; di tengah seorang guru dapat berperan menggairahkan semangat dan aktivitas serta kreativitas anak didik; sedangkan di depan seorang guru berperan sebagai teladan / pemberi contoh dalam melaksanakan nilai-nilai hidup yang baik kepada anak didik.

Kemudian dalam ketentuan umum Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menjelaskan :”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Untuk mewujudkan amanat Ki Hajar Dewantara dan UU Sisdiknas 2003, pada kenyataannya bukan hal yang gampang dilaksanakan dalam dunia pendidikan pada umumnya.

Para pendidik yang bergelut langsung di lapangan, terkadang merasa bersebrangan dengan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada sekolah / pendidik langsung (guru).

Contoh hal yang bersebrangan dengan kebijakan pemerintah sehingga dirasakan sebagai dilema oleh para pendidik yang berada di lapangan secara langsung :

  1. Kebijakan Kurikulum

Seringkali kurikulum berubah-ubah tanpa kompromi dengan kondisi di lapangan, dalam hal ini di sekolah. Bahkan sosialisasi dari pihak yang berwenang pun tidak jelas arahannya sehingga guru / pendidik dibuat bingung yang akhirnya meraba-raba sebatas kemampuan dengan fasilitas dan sumber belajar yang apa adanya dengan dalih yang penting mendekati kurikulum yang dimaksud, mengenai benar tidaknya prosedur yang dicapai ”Wallahu’alam”. Karena kurikulum yang lama belum dipahami dan dikuasai dalam jangka waktu 2 – 3 tahun sudah muncul lagi kurikulum yang baru, akhirnya bingung lagi itulah dilema yang dirasakan oleh para pendidik.

  1. Kenaikan Kelas

Pada saat rapat akhir tahun / kenaikan kelas, seringkali mengalami perdebatan yang panjang dan alot dalam menentukan keputusan antara ”Dinaikan atau Tidak”. Pada saat mendapatkan kasus anak didik yang dilihat secara Kompetensi Dasar tidak memenuhi syarat atau dikatakan IQ di bawah rata-rata namun secara sikap perilaku anak tersebut baik dan rajin sekolah, hal ini menjadi satu dilema untuk meningkatkan kualitas akademik. Bila anak tersebut dibantu naik kelas maka kualitas sekolah akan jalan di tempat / berkurang mutunya, bila ditunda kenaikannya terbentur dengan dikdas 9 tahun, kasihan anak dan terkadang orang tua juga protes / tidak terima. Kemudian kasus anak secara Kompetensi Dasar memenuhi syarat tapi banyak melakukan pelanggaran tata tertib sekolah, hal ini juga menjadi dilema. Bila dibantu naik dengan harapan dapat berubah di kelas berikutnya, namun pada kenyataannya seringkali bibit pelanggaran tata tertib di kelas bawah akan berkembang di kelas berikutnya dan bila ditunda kenaikannya pada umumnya mereka tidak mau melanjutkan sekolah sehingga bertentangan dengan dikdas 9 tahun. Pada akhirnya pihak sekolah mengambil alternatif terbaik dari yang terburuk dengan membantu naik tapi dengan syarat pindah sekolah dengan harapan memangkas dahan yang jelek namun tidak mematikan. Apakah itu solusi yang terbaik? Entahlah..........

  1. Ujian Nasional

Pada bulan April – Mei, pihak sekolah biasanya sibuk mempersiapkan Ujian Nasional, mulai dari tingkat SD s.d. tingkat SLTA. Persiapan UN menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan tentunya dana yang cukup besar baik yang dikeluarkan oleh pihak sekolah maupun oleh pemerintah. Setelah ujian usai harap-harap cemas menanti hasil UN dirasakan mulai dari anak didik, orang tua dan tentu saja pihak sekolah. Semua pihak berharap lulus semua dan hasilnya memuaskan. Bagi pihak sekolah lulus 100 % merupakan prestasi yang dinantikan untuk mendapatkan prestise dan merupakan tuntutan persaingan dalam merebut status sekolah baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Karena tuntutan kebijakan seperti itu, maka tidak menutup kemungkinan tiap sekolah bersaing ketat untuk mendapatkan prestise dengan berusaha keras untuk mencapai 100 % lulus dengan hasil yang bagus, dengan cara membentuk Tim Sukses untuk membantu anak didik supaya lancar dalam UN namun tidak jarang menempuh jalan yang ”salah ” selama tidak terdeteksi oleh Tim Pengawas Independen. Hal ini menjadi dilema bagi para pendidik yang idealis dan merasa percuma memotivasi belajar anak didik di kelas I dan II pada kenyataannya saat kelas III dalam penentuan kelulusan banyak dipermudah dengan hal yang kurang mendidik.

Lebih mengecewakan lagi kriteria kelulusan mutlak berdasarkan hasil UN tanpa mempertimbangkan hal lain, seperti : hasil Ujian Sekolah, nilai raport atau perkembangan sikap perilaku yang informasinya ada di sekolah. Terkadang hasil UN merugikan anak yang benar-benar pintar dan rajin belajar. Karena adanya TIM sukses, hasil UN anak yang benar-benar cerdas dengan anak yang biasa-biasa dan bahkan jarang sekolah (sering bolos) tidak berbeda jauh. Hal ini menjadi suatu dilema buat sekolah terhadap kasus anak yang sering bolos tapi saat ujian ikut dan hasilnya dinyatakan lulus sedangkan faktor yang lainnya tidak memenuhi syarat, hal tersebut akan menjadi buah simalakama susah untuk dinyatakan tidak lulus karena secara ”de facto” hasil UN tercantum LULUS sehingga dapat menimbulkan protes dari pihak orang tua / menuntut.

Dari kasus di atas pada umumnya dialami oleh setiap sekolah, dan tiap sekolah tentu berbeda-beda dalam mengambil keputusan. Ada yang pro dan kontra tentu terjadi di kalangan pendidik itu sendiri.

Adakah solusi yang terbaik untuk mengatasi dilema-dilema tersebut? Hal itu tergantung situasi dan kondisi dan tentu saja perlu pemikiran kita semua, bagaimana supaya situasi dilematis tersebut dapat diantisipasi.

Dalam rangka Hari Pendidikan, penulis mengetuk hati nurani anda wahai insan pendidik,”Mari kita merenung sejenak : sudah sebesar apakah sumbangsih kita terhadap dunia pendidikan, sudah berhasilkah kita mencerdasakan anak bangsa yang dititipkan pada kita, sudah ajegkah komitmen kita terhadap dunia pendidikan, sudah ikhlaskah kita dalam mengemban tugas,..............??”

Dikala pemerintah mulai memperhatikan kita (para pendidik) dengan penghargaan sertifikasi dan memberikan nominal yang cukup besar, jangan sampai mengabaikan tugas mulia ini dengan melakukan tindakan yang tidak bertanggung jawab, ayo tingkatkan mutu pendidikan dan tunjukkan kinerja yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar